Potret Demokrasi Indonesia Pasca Era Reformasi

by -131 views

Oleh:
DR. H. Abdul Wahid, MA
(Muballigh dan Akademisi Makassar)

Infolain.com – Jujur kita akui bahwa pasca runtuhnya orde baru potret demokrasi kita secara umum belum lebih baik dibandingkan pada era orde baru. Lahirnya reformasi diharapkan bisa minjadi antitesa dari praktik demokrasi era orde baru, tapi hingga saat ini lebih dua puluh tahun arah dan potret demokrasi kita belum juga menemukan jati dirinya, malah yang sangat miris dan memprihatinkan kita adalah demokrasi kita diwarnai dengan berbagai praktik transaksioanl.

Pada era orde baru walaupun potret demokrasi tidak terlalu bebas, namun di sisi lain fenomena korupsi belum begitu meluas, tapi lain halnya dengan saat ini “demokrasi kita” konon lebih terbuka dan dinamis tapi di sisi lain kita sangat prihatin betapa demokrasi kita dihantam dan dirasuki dengan “model demokrasi transaksional”.

Para kandidat atau bakal calon legislatif dan kepala daerah yang hendak maju disebuah pileg/pilkada, mereka harus menyiapkan dana yang tidak sedikit agar dapat melenggang dengan mulus menuju kontestasi tersebut. Karena itu, menurut hemat saya jika praktik demokrasi model ini terus dikembangkan di republik ini, maka akan sulit bangsa ini melahirkan para politisi dan penyelenggara negara yang ideal, berintegritas dan tidak bisa diharapkan oleh masyarakat.

Dalam berbagai media kita dapatkan informasi, jika seseorang ingin maju dalam pileg/pilkada, maka ia harus menyiapkan mahar ke partai politik, agar dapat diusung dalam pileg/pilkada tersebut, tentu hal ini membuat demokrasi kita semakin jauh dari subtansinya dan malah membuat potret demokrasi kita semakin terpuruk. Sehingga menurut Staf Ahli Bidang Pemerintahan Kemendagri, Suhajar Diantoro, mengatakan mahar politik merupakan racun dalam demokrasi. Ia mengemukakan hal tersebut dalam diskusi publik “Menciptakan Politik Bersih Tanpa Mahar Untuk Indonesia Sejahtera”, yang diselenggarakan Gerakan Kasih Indonesia (Gerkindo), di Gedung Joang 45, Meteng, Jakarta Pusat, Sabtu (3/3/2018).

Fenomena ini jika dilihat dari perspektif Islam tentu sangat bertentangan. Sebab praktik korupsi adalah bagian dari hilangnya sifat kepedulian terhadap orang yang kurang mampu di sekitar kita dan lebih dari itu termasuk dosa besar hingga kelak di akhirat neraka tempatnya, sebagaimana yang diinformasikan dalam salah satu hadis yang shahih, “Diriwayatkan dari Said bin Zaid bin Amr bin Nufail radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Sesungguhnya saw. pernah bersabda: Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan di lehernya pada hari kiamat nanti dengan setebal tujuh lapis bumi”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Potret demokrasi kita yang dihiasi dengan praktik-praktik transaksional merupakan bibit atau titik awal dari korupsi di republik ini, karena seorang calon ketika duduk di jabatan tertentu akan berfikir bagaimana caranya untuk dapat mengembalikan dana (modal) yang pernah ia keluarkan sebelumnya. Padahal yang dibutuhkan republik ini adalah demokrasi subtansial, artinya sebuah model demokrasi yang jauh dari praktik transaksi sebelum dan pada saat ia seseorang diamanahi oleh rakyat duduk di jabatan pemerintahan, sehingga marwah dan hakikat demokrasi kita dapat dikembalikan pada jalan yang sebenarnya, dimana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, dan para pejabat di republik ini bekerja untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana amanah sila kelima dari Pancasila.

Praktik demokrasi yang diwarnai dengan transaksional mengindikasikan adanya ambisi yang berlebihan dari orang tertentu untuk dapat duduk di jabatan tertentu, dan tipikal orang seperti ini yang oleh agama sejatinya tidak diberi amanah, sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadis, pada zaman Nabi saw. bahwa ada dua orang mengatakan kepada Nabi saw. “wahai Rasulullah, jadikan kami sebagai pemimpin.” Maka Nabi saw. menjawab: “Sesungguhnya kami tidak akan memberikan kepemimpinan kami ini kepada seseorang yang memintanya atau berambisi terhadapnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam kehidupan dunia ini terkhusus dalam dunia demokrasi, sifat ambisi adalah akan berimplikasi pada kurangnya profesionalitas di dalam bekerja, karena seseorang yang sangat ambisi untuk duduk dijabatan tertentu, dapat dipastikan bahwa ia memiliki tendensi tersembunyi, untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Dan lebih fatal lagi orang yang terlalu ambisi dalam jabatan tertentu akan cenderung melegalkan segala cara demi mencapai tujuan yang diinginkan.

Implikasi dari demokrasi transaksional adalah akan bisa memicu terjadinya gangguan kamtibmas, terutama jika para oknum calon yang maju dalam pileg/plkada tidak terpilih sebagaimana yang ia harapkan, maka bukan tidak mungkin ia akan mengumpulkan massa lalu memprovokasinya untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Untuk itu, kita berharap agar demokrasi kita ke depan dapat dikembalikan pada marwah yang sebenarnya, menjadikan kedaulatan rakyat di atas segalanya, terkhusus dalam menghadapi pilkada di Makassar dan sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, sehingga daerah kita aman dan tentram. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *